ruhullaw

When you believe in God, Trust the Law, cause the Law made by man who created by God

  • Categories

  • Archives

  • January 2011
    M T W T F S S
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  
  • Blog Stats

    • 757 hits

>Hambatan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Minangkabau

Posted by Ruhullaw 1980 on January 27, 2011

><!–[if !mso]> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } <![endif]–>

    B.R.Azam,SH.MH –
Korupsi merupakan fenomena menarik yang tidak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan juga melanda Negara-negara di dunia, khususnya Negara berkembang. Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu Negara karena masalah korupsi telah ada ribuan tahun yang lalu. Perkembangan korupsi di Indonesia saat ini menjadi masalah yang luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan yang dianggap wajar dan lumrah ini seiring berjalannya waktu akan menjadi bibit-bibit korupsi  yang nyata.
Kebiasaan yang menjadi bibit tindak pidana korupsi disadari atau pun  tidak disadari merupakan warisan perbuatan yang telah dilakukan oleh masyarakat di masa yang lalu. Bahkan ada beberapa kebiasaan yang merupakan adat masyarakat setempat. Seperti diketahui, Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan adat istiadat yang menurut Van Vollenhoven dapat dikualifikasikan dalam 19  daerah hukum adat (rechtskring).

Minangkabau (Sumatera Barat) adalah salah satu daerah adat yang masih eksis sampai saat ini. Seperti halnya Indonesia, Minangkabau adalah negeri hukum, namun lingkup berlakunya hanya di tanah pusaka “Bundo Kanduang” dan untuk orang Minangkabau semata serta tidak terkodifikasi. Oleh karena itu dikenal dengan sebutan Hukum Kekerabatan Minangkabau (verwantschaprecht).
Di daerah Minangkabau ini,sebagaimana daerah lainnya di Indonesia pun tidak terlepas dari tindak pidana korupsi. Pola dan modus operandi tindak pidana korupsi semakin beragam. Namun hal itu tidak terlepas dari dinamisnya masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selalu mempunyai hambatan dan rintangan dari berbagai sudut. Oleh karena itu dalam makalah ini Penulis mencoba mencari dan menggambarkan hambatan yang ada dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di daerah Minangkabau.
Korupsi berasal dari perkataan corruptio yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin – Indonesia, corruptio berati penyogokan.[1] Sedangkan menurut Sudarto adalah :
“Perkataan korupsi semula hanyalah bersifat umum dan baru menjadi istilah hukum untuk pertama kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.
Dalam konsiderans peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara  dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan korupsi  perlu segera menetapkan sesuatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan usaha memberantas  korupsi…..”[2]
William Chamblis, pakar dan guru besar sosiologi hukum pidana yang melakukan studi tentang peranan hukum (undang-undang) dalam upaya menanggulangi kejahatan, mengetengahkan teori yang ditopang oleh penelitian yang representatif, mengetengahkan ajarannya sebagai berikut :
“ Orang dalam melakukan kejahatan “didorong” oleh dua alasan. Pertama, alasan ekspresif, yang spontan (tanpa memikirkan akibatnya) dan kedua, dorongan instrumental, yaitu alasan untuk lebih meningkatkan keadaan yang telah dimilikinya dengan melakukan “kejahatan” yang umumnya cukup tersembunyi (padahal tanpa berbuat kejahatan pun ia sudah hidup cukup layak). Di samping itu, si pelaku takut akibatnya. “[3]
Sedangkan Menurut Andi Hamzah, Korupsi dilatarbelakangi beberapa faktor antara lain:[4]
  1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil  dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.
  2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.
  3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien yang akan memberikan peluang orang untuk korupsi.
  4. Modernisasi mengembangbiakan korupsi.
Syed Hussein Alatas menjelaskan tentang sosiologi korupsi yaitu tentang sebab-sebab terjadinya korupsi adalah: [5]
a.       Ketiadaan atau Kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b.      Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika
c.       Kolonialisme
d.      Kurangnya pendidikan
e.       Kemiskinan
f.       Tiada tindak hukuman yang keras
g.      Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi
h.      Struktur pemerintahan
i.        Perubahan radikal, dimana tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional
j.        Keadaan masyarakat, dimana korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan masyarakat keseluruhan
Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut di atas ternyata korupsi bukan hanya dikarenakan sistem hukumnya yang lemah. Namun lebih berorientasi kepada masyarakatnya sebagai subyek hukum itu sendiri. Masyarakat mempunyai pengaruh yang besar dalam perilaku koruptif ini karena hubungan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri sangat kompleks dan bergerak dinamis.
Minangkabau merupakan salah satu daerah adat yang masih memiliki hukum adat dan dipatuhi oleh masyarakatnya. Minangkabau seperti halnya masyarakat adat di daerah lain di Indonesia mempunyai persekutuan hukum (rechtgemeenschap). Persekutuan Hukum yang terdapat di Minangkabau merupakan Persekutuan Hukum Geneologis, yaitu persekutuan karena ikatan keluarga dan sama-sama tinggal di satu tempat dan mempunyai kepentingan bersama.
Persekutuan karena ikatan keluarga ini menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau disebut matrilineal.  Sedangkan yang berkuasa seorang laki-laki yang disebut mamak rumah atau tungganai, yaitu saudara pria sekandung menurut garis ibu serumah gadang untuk menjadi pembimbing  anggota-anggota keluarga yang terdekat disebut kemenakan. Pada umumnya saudara laki-laki yang tertua sekaligus juga menjadi mamak kepala waris dari kaumnya.
Selain dari mamak rumah ada lagi mamak-mamak yang memegang kendali pengaturan dan pemeliharaan dalam kekuasaannya masing-masing yaitu mamak kaum, mamak suku yang berpangkat penghulu dan diberi gelar Datuak dari gelar pusaka kaumnya (sako), turun temurun dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan.
 Pada awalnya, masyarakat Minangkabau mendirikan perkampungan di atas bukit yang dikenal dengan taratak. Kemudian taratak itu semakin banyak dan ramai berkembang menjadi dusun, dusun menjadi koto, koto menjadi kampuang, kampuang menjadi nagari. Nagari pertama menurut Tambo Alam Minangkabau adalah nagari Pariangan-Padang Panjang terletak di daerah Gunung Merapi.
Orang Minangkabau sesungguhnya tidak mengenal istilah Hukum Adat tetapi sepanjang adat. Istilah hukum adat berasal dari Snouckhourgronje sebagai terjemahan adatrecht. Prof.Hazairin mengatakan bahwa keistimewaan Hukum Adat Minangkabau terletak pada rasa kebangsaan, pada penghargaan terhadap kebudayaan, bukan pada individual, melainkan pada rakyat yang ada di perkampungan, dan urusan adat adalah sebagian dari jiwanya meliputi hak dan perihal hidupnya.[6]
Berdasarkan pendapat Prof.Hazairin tersebut dapat diketahui bahwa  masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi kekerabatan ikatan keluarga yang ada dengan mengedepankan prinsip kolektifitas berdasarkan lokasi wilayah tempat tinggalnya. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat Minangkabau berpegang teguh pada adat yang berlaku. Kehidupan Pemerintahan di Minangkabau pun terikat dengan sistem kekerabatan yang ada.
Permasalahan akan muncul apabila terjadinya suatu tindak pidana. Persekutuan yang erat diantara masyarakat Minangkabau bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan permasalahan hukum, di sisi lain akan menghambat penyelesaian hukum ini.
Dalam tindak pidana korupsi, ada beberapa celah yang dimungkinkan dilakukan yaitu pada saat perencanaan (anggaran), pelaksanaan dan pasca pelaksanaan. Sebagai contoh adalah pada saat adanya suatu proyek pengadaan dan pembangunan fasilitas Negara. Persekutuan yang erat ini tentunya memberi dampak bagi para pelaku di dalamnya. Misalnya Pimpro dari suatu proyek adalah kemenakan Mamak. Sedangkan Pemilik Perusahaan yang mengajukan diri untuk melaksanakan proyek adalah sang Mamak itu sendiri, bagaimana mungkin kemenakan menolak proposal Mamaknya itu padahal di alam Minangkabau berlaku kemenakan seperintah mamak.
Kondisi itu seperti dimaksudkan oleh Andi Hamzah tentang latar belakang terjadinya tindak pidana korupsi yaitu latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Kebudayaan dalam arti ini adalah kebudayaan Minangkabau.
Dalam proses pemberantasan  tindak pidana korupsi juga menemui hambatan di Minangkabau. Kemenakan tidak akan pernah mau apabila mamaknya ataupun Datuk ditahan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kemenakan harus tahu bacapek kaki, baringan tangan yaitu menyelenggarakan dan memikul segala buruk dan baik yang terjadi dengan mamaknya. Sehingga dapat dibayangkan apabila mamak-mamak di tahan dan diproses secara hukum maka para kemenakan akan kehilangan pegangan hidupnya sebab mamak “Ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito”.
Masyarakat Minangkabau mempunyai tujuan hidup yang disebut Masyarakat nan Sakato yang terdiri dari 4 unsur.  Unsur-unsurnya yaitu Saiya Sakato, Sahino Samalu,  Anggo Tanggo dan Sapikue Sajinjing.[7] Kehidupan kelompok sesuku sangat erat. Hubungan Individu sesama anggota kelompok kaum sangat dekat bagaikan suatu kesatuan yang tunggal-bulat. Kedekatan hubungan dalam kelompok suku ini menjadikan harga diri individu melebur menjadi satu menjadi harga diri kelompok. Apabila terjadi suatu masalah maka akan diselesaikan dengan cara “awak samo awak”.  Kesetiaan terhadap kaum-kerabat dan rasa kesatuan-persatuan diungkapkan dengan kata-kata Tagak basuku mamaga suku untuk membentengi kepentingan bersama dalam serasa dan semalu.
Konsepsi adat tersebut tentunya akan memberikan gambaran betapa sulitnya pemberantasan korupsi di Minangkabau. Lebih jauh lagi, konsepsi itu merupakan suatu bibit terjadinya tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu walaupun Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan landasan hukum bagi masyarakat dan penegak hukum untuk menyikapi perilaku korupsi yang semakin mewabah, namun dalam teknis pelaksanaannya khususnya di Minangkabau  akan menemui hambatan-hambatan. Sehingga makna Hukum sebagai kaedah yang bersanksi yang berat ringannya tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan-anggapan, serta keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan merupakan suatu tantangan untuk diterapkan dalam lingkup Sumatera Barat/Minangkabau.
Hambatan itu akan memudar setelah memahami esensi bahwa perilaku korupsi bukanlah suatu kewajaran dan tidak patut menerima perlindungan menurut kekerabatan yang ada. Pemahaman ini seharusnya membawa ke arah lebih baik dari masyarakat dalam menyikapi perilaku-perilaku korupsi. Keberadaan Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukanlah sesuatu yang ada tanpa melalui proses penyerapan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Sebab Hukum yang berlaku yang mengatur masyarakat tidak mengalir secara langsung  dari dasar hukum normatif. Prinsip-prinsip abstrak itu harus dikonkretkan dalam suatu tata hukum tertentu supaya berlaku.[8]
Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput karena memberantas korupsi adalah layaknya mencegah dan menumpas virus suatu penyakit yaitu penyakit masyarakat. Oleh karena itu diperlukan diagnosa dan kesimpulan serta “treatment” yang tepat  agar virus penyakit tersebut bukan hanya dicegah akan tetapi dikemudian hari tidak akan terulang lagi.
Menghadapi korupsi adalah menghadapi sosok manusia yang sedang sakit parah yaitu manusia psikopat bukan hanya kleptoman karena si sakit sangat bahagia atau memperoleh kesenangannya di atas penderitaan orang. Namun juga pelaku korupsi akan berusaha mencari perlindungan agar terbebas dari dugaan melakukan tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan eratnya sistem kekrabatan terutama terjadi di Minangkabau.
Masalah korupsi ini tidak akan menjadi rumit apabila semua individu / manusia dalam masyarakat itu mempunyai pandangan yang sama tentang persepsi korupsi. Kesamaan definisi korupsi di dalam diri setiap individu akan membuat setiap orang mampu berpikir dan bertindak untuk tidak melakukan korupsi.
Hukum bersama-sama masyarakat berbuat sebagai kaidah dan norma dalam pembentukan perilaku yang baik dan terkendali. Apabila hukum terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia mengakomodasi segala permasalahan, maka hukum dapat bekerja dengan baik dan bersifat fleksibel. Sebaliknya hukum akan menjadi antagonis atau berseberangan dengan masyarakat manakala hukum masih berada pada pijakan yang tertutup terhadap adat yang berlaku.

Berdasarkan tulisan ini, maka didapat suatu kesimpulan yang pada pokoknya adalah: Persekutuan Hukum yang terdapat di Minangkabau merupakan Persekutuan Hukum Geneologis, yaitu persekutuan karena ikatan keluarga dan sama-sama tinggal di satu tempat dan mempunyai kepentingan bersama. Dalam proses pemberantasan  tindak pidana korupsi menemui hambatan di Minangkabau. Kemenakan tidak akan pernah mau apabila Ninik Mamak, ataupun Datuk/Penghulu ditahan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kemenakan harus tahu bacapek kaki, baringan tangan yaitu menyelenggarakan dan memikul segala buruk dan baik yang terjadi dengan mamaknya. Hal ini menunjukkan adanya Kesetiaan terhadap kaum-kerabat dan rasa kesatuan-persatuan untuk membentengi kepentingan bersama dalam serasa dan semalu.


[1] S.Adiwinata, Kamus Istilah Hukum-Latin-Indonesia, (alih bahas). PT Intermasa, Jakarta, cetakan 1, 1977, halaman 30.
[2] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 115
[3] Soedjono Dirdjosisworo, Kriminalitas Pasca-Pemilu 2004, Harian Umum Pikiran Rakyat, tanggal 20 Desember 2004, hlm. 20.
[4] Masyarakat Transparansi Indonesia : Studi tentang Pertanggungjaaban dalam Pembuatan Keputusan Peradilan. Lampiran Tim Kerja Bidang Hukum, Jakarta, 1995.
[5] Syed Hussein Alatas dalam Edi Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.5.
[6] Dt.B.Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau Jilid 1, CV.Pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1995, hal.26.
[7] Amir, MS. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT.Mutiara Sumber Widya,Jakarta, 2001, hal.111
[8] Theo Huibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan KanisiusYogyakrta, 1982, hal. 294

Leave a comment