ruhullaw

When you believe in God, Trust the Law, cause the Law made by man who created by God

  • Categories

  • Archives

  • January 2011
    M T W T F S S
     12
    3456789
    10111213141516
    17181920212223
    24252627282930
    31  
  • Blog Stats

    • 757 hits

>Fenomena Tindak Pidana Korupsi dalam Masyarakat Indonesia

Posted by Ruhullaw 1980 on January 28, 2011

>

– B.R.Azam,SH.MH –

<!–[if !mso]> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } <![endif]–>

Masyarakat dan hukum adalah dua sisi yang berhubungan erat. Kehidupan bermasyarakat pun tidak selamanya berjalan dengan lancar dan untuk menertibkan kehidupan masyarakat itulah disusun norma-norma yang kemudian berkembang menjadi suatu aturan-aturan yang mengikat dan mempunyai sanksi bagi yang melanggarnya yang dikenal dengan istilah hukum. Sanksi ini bisa berbentuk sanksi pidana yang  dimaksudkan sebagai upaya untuk menjerakan para pelaku kejahatan dan mencegah orang lain berbuat sama.
Penjatuhan pidana atau pemidanaan (sentencing) adalah dalam rangka memenuhi pergaulan hidup yang baik. Sanksi pidana dapat bertindak dan berlaku sebagai aturan utama (primary rules) akan tetapi bukan semata-mata dimaksudkan sebagai pembalasan dendam terhadap perlakuan orang-orang yang melanggar hukum melainkan sebagai ultimum remedium.dan juga upaya pemberian pengayoman atau perlindungan kepada masyarakat dan bimbingan kepada terpidana untuk sadar hukum atau insyaf supaya dapat menjadi anggota masyarakat yang baik [1]
Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem untuk menangulangi kejahatan di dalam masyarakat. Penanggulangan kejahatan di masyarakat berhubungan dengan penegakkan hukum. Sedangkan Penegakkan Hukum selalu diidentikan dengan Penegak Hukum itu sendiri dalam hal ini adalah Polisi, Jaksa dan Hakim yang bermuara pada Peradilan.
Dunia peradilan Indonesia saat ini menghangat dengan terkuaknya berbagai kasus korupsi yang berpotensi merugikan keuangan Negara. Mulai dari Pengusaha seperti Bob Hasan, Anggota DPRD, Pejabat Pemerintahan di daerah, oknum aparat Penegak Hukum  sampai si fenomenal Gayus Tambunan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Kalau berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ? Apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  belum mampu mengatur masyarakat?ataukah moral masyarakat Indonesia masih memiliki toleransi terhadap korupsi?
Korupsi dalam Pandangan Hukum
Sejak keberhasilan gerakan reformasi melanda bangsa Indonesia, sebutan “supremasi hukum” menjadi kata yang paling sering diucapkan dan didengar. Istilah ini akan selalu menjadi obyek kajian yang menarik dan tidak ada habis-habisnya . Hal tersebut disebabkan karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu bangsa.
Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi yang khas, ia langsung berada dan bekerja ditengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum.
Dalam kehidupan nyata, kita mengenal istilah “hukum jalanan” dan “hukum gedongan”. Biasanya penegak hukum jalanan adalah polisi, sedangkan jaksa, advokad dan hakim kita kenal dengan penegak hukum gedongan. (Satjipto Rahardjo, Prof. -Media Indonesia–).
Karena posisi yang unik itu keberadaan hukum dapat memberikan dampak bagi lingkungan di sekitarnya. Atau mungkin “sugesti moral”, terutama bagi dinamisasi kehidupan bermasyarakat, antara hukum dan masyarakat, penjahat dengan pejabat, orang baik-baik, atasan dan bawahan, sesungguhnya tidak akan ada tirai pembatas (penghalan). Oleh karena itu, kita biasa mengatakan hukum bersifat dogmatis dan universal.
Posisi yang khas tersebut, membawanya langsung di tengah-tengah kejadian dan pengalaman empirik masyarakat. Salah satu aspek dari demikian itu adalah keberadaan hukum di tengah-tengah dinamika perubahan nilai, sikap dan akhirnya perilaku yang harus dihadapi oleh hukum.
Hukum harus mampu mencerna segala perubahan secara tenang dan baik-baik. Kita sekarang berada di tengah-tengah perubahan yang boleh dikatakan “berkualitas akut”. Globalisasi, dunia tanpa pembatas, skenario elit politik, suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme, supremasi hukum, demokratisasi, HAM, disintegrasi bangsa dan intrik-intrik politik, yang kesemuanya harus dihadapi oleh hukum.
Masalah korupsi  terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan social, maslah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan social ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem budaya politik, masalah mekanisme  pembangunan dan lemahnya birokrasi di bidang keuangan dan pelayanan publik[2].
Hukum menurut Roscoe Pound melindungi 3 hal pokok yaitu :
1.      Public Interest
2.      Social Interest
3.      Private Interest
Menurut Pound  social interest menyangkut perlindungan masyarakat terhadap kerusakan moral dan peraturan terhadap korupsi menjadi hal penting.
Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan landasan hukum bagi masyarakat dan penegak hukum untuk menyikapi perilaku korupsi yang semakin mewabah. Sesuai fungsinya, hukum dapat berperan sebagai alat rekayasa social (law as a social engineering).
 Hukum tidak hanya merupakan unsur “tekstual” saja, yang dipandang dari kacamata Undang-undang. Namun hukum juga merupakan unsur “kontekstual”, yang dapat dilihat dari prespektif yang lebih luas. Hukum diderivasi dari kaidah moral dan kaidah moral merupakan kaidah terpenting dari kaidah yang ada.
Pemahaman ini seharusnya membawa ke arah lebih baik dari masyarakat dalam menyikapi perilaku-perilaku korupsi. Keberadaan Undang-undang No. 31 tahun 1999. jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukanlah sesuatu yang ada tanpa melalui proses penyerapan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Sebab Hukum yang berlaku yang mengatur masyarakat tidak mengalir secara langsung  dari dasar hukum normatif. Prinsip-prinsip abstrak itu harus dikonkretkan dalam suatu tata hukum tertentu supaya berlaku.[3]
Korupsi sebagai Cerminan Moral Masyarakat
Moral adalah keseluruhan kaidah dan nilai  berkenaan dengan ikhwal baik atau perbuatan baik manusia. Manusia individual tumbuh dalam suatu masyarakat tertentu, yang didalamnya sudah ada sistem-sistem konseptual tentang moral dan hukum. Karena manusia tumbuh di dalamnya maka ia menyerap sistem-sistem itu menjadi bagian dari dirinya. Ia belajar bahasa moral dari suatu masyarakat tertentu dan pemahaman moralnya dengan itu terbentuk.[4]
Untuk menjadi manusia dalam arti normative – yuridis, yakni untuk menjadi subjek moral manusia perlu memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat itu adalah bahwa manusia harus bebas untuk bertindak dan bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Bebas untuk bertindak memang ada hubungan dengan kemampuan manusia untuk berfikir dan mempertimbangkan pilihannya, akan tetapi terutama dengan kemungkinannya untuk bertindak sesuai dengan kemauannya.

Maka adanya atau tidak adanya kemungkinan untuk bertindak secara bebas menentukan apakah manusia menjadi pelaku moral ( causa moralis) atau tidak. Seandainya manusia tidak bebas lagi, maka norma-norman tidak berlaku lagi, dan manusia bukan pelaku moral lagi


[1] Teguh Sulistia, “System Pembuktian Gratifikasi Dalam Perkara Pidana Korupsi” KANUN NO.42 Edisi Agustus 2005, hal.328
[2] Barda NAwawi Arief, Kapita Selekta  Hukum Pidana, Alumni Bandung, 2003.
[3] Theo Huibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan KanisiusYogyakrta, 1982, hal. 294
[4] JJ.Bruggink,alih bahasa oleh Arief Sidharta, Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,, 1996.

Leave a comment